HASNA JAVACUTE ZWEETY

Senin, 04 April 2011

sekilas cerita


Astaghfirullahal’adziim…
Sungguh aku ini anak yang durhaka, kejadian hari minggu tanggal  3 april 2011 membuat aku merasa sangat bersalah kepada ibuku dan akhirnya berlinangan air mata. Bagaiman tidak? Karena mulut syetanku ini aku telah berkata sesuatu yang membuat ibuku sakit hati ketika mendengarnya. Entah apa, dan kenapa aku bisa berkata seperti itu?, sungguh aku tidak pintar menahan rasa emosi, dan ego yang buruk ada dalam otakku. Tiada anak yang lebih kurang ajar kepada ibunya melainkan aku. Aku sadar…
Aku menyesal telah membuat ibuku menangis, padahal hal yang paling buruk yang pernah terjadi padaku adalah membuat ibu menangis. Aku sangat tidak ingin membuat setetes air mata jatuh membasahi pipi ibuku. Tapi kenapa aku yang tak menginginkan hal itu terjadi, karena aku pula yang membuat ibu menangis ?, duhai.. betapa durhakanya aku ini sebagai anaknya
Teringat jelas, wajah ibuku menangis, sedih, sendu, dengan penuh menyesal dia tumpahkan air matanya. Begitu teganya kah seorang aku?, begitu jahatnya kah seorang aku?, apa jadinya seorang aku ini yang telah membuat ibunya kecewa?. Ibu…ma’afkan anakmu ini. Astaghfirullahal’adziim
Berawal cerita, aku dan ibuku sedang membuat masakan utuk makan siang. Ibu bertugas memasak sayur bening kesukaan abah, dan aku mengolah daging ayam untuk lauknya. Dengan penuh samangat aku mengupas bumbunya.
Ketika masakanku telah hampir matang, ibu mencicipinya, ibu bilang      “kog rasanya ada yang kurang, kamu kasih apa aja na bumbunya tadi?”, aku menjawab “kunyit, bawang merah, sama bawang putih aja”. Ibu berkata lagi “Cuma itu?” aku jawab “ya, Cuma itu”.
Ibu menghela nafas dan terdiam sejenak, kemudian berkata lagi “rencana mau makan enak hari ini, tapi karena bumbunya kurang, jadi kurang enak deh”. Aku yang mendengar itu jadi tersinggung, aku bilang “yah… tau gitu bu, ibu aja yang masak ayamnya tadi”. Ibu kembali berkata “kan ibu udah pernah ngajarin kalo masak ayam kecap kaya’ gitu mesti dikasih kemiri sama merica, terus ayamnya digoreng dulu”. Entah kenapa aku kesel banget waktu ibu bilang gitu, seolah-olah masakanku tidak enak sama sekali. Aku juga ngga tau kenapa aku jadi sensi sama orang rumah.
Sebenarnya aku meninggalkan bumbu-bumbu itu karena aku punya alasan sendiri, alsannya karena kemiri mengandung lemak nabati, ditambah lagi minyak goreng. Abah mengalami gangguan pada tubuhnya, beliau terkena penyakit kolesterol, makanan yang berminyak dan berlemak harus dikurangi. Itu alasanku.
Setelah ku fikir-fikir, aku turuti apa mau ibuku. Aku lengkapi bumbu yang kurang. Ibu bilang bumbunya harus digoreng biar rasanya ngga langu. Aku protes, kenapa ngga langsung aja, kelamaan. Ibu bilang biar rasanya lebih gurih dan ibu memprotes kembali “kenapa ngga dari awal? Bukannya ibu udah ngajarin dari awal, tinggal praktekin aja kok repot, sudah enak-enak masak tinggal puter aja tombolnya”. Emang dasar mulutku banyak bacot aku jawab sekenanya tanpa memikirkan etika sedikitpun “yaaa akukan mau simpel, jadi ya gitu aja. Kalo mau ya makan kalo ngga mau yaudah biarin aja. Huuuuuuuuuuuuuuuh tau gitu males aku masak bu, diprotes terus”. Entah ibu ngomel apalagi, aku ngga dengerin, aku hanya memberikan ekspresi muka yang jelek dibelakang ibu sambil mencibir, ternya ibu melihat tngkahku waktu itu. Hening…
Aku tak tau kenapa ibu seperti itu, sepertinya ibu ada masalah atau ada sesuatu yang dia fikirkan. Biasanya ibu tidak pernah memprotes masalah masakan, walaupun memprotes tapi tak separah ini protesannya. Seharusnya aku sebagai anak harus lebih mengerti keadaan fisik dan batin ibuku.
Dalam hening, hanya bunyi air mendidih dan aroma masakan yang sama sekali ngga selera aku menciumnya, ibu berkata lagi “Kamu ndok, kalo dikasih tau orang tua coba diturut, kalo kamu mau masakan yang bumbunya simpel ya ngga apapa, tapi ngga usah mencibir ibu, ibu ngerti kamu jengkel, tapi ngga usah gitu. Itu tandanya kamu ngga menghargai apa yang ibu ajarkan selama ini, bukannya apa ibu Cuma pingin kamu makan enak hari ini”. Ibuku menangis, aku miris melihatnya. “ibu ingin anak ibu senang, kamu di rumah Cuma seminggu sekali, dan kalo kamu ngga pulang ayam yang kamu masak ini ngga akan pernah ada di rumah, selama ini yang ada difikiran ibu sama abah Cuma anak-anaknya, semuanya untuk itu.” Ibu masih menangis. “ibu tau sekarang kamu udah lebih pintar dari ibu, jadi ibu ngga sia-sia nguliahkan kamu tinggi-tinggi, dulu ibu yang ngajarin kamu tapi sekarang kamu yang ngajarin ibu. Sombong kamu sekarang nak, orang tua ngasih tau ngga dihiraukan malah mengejek. Ibu sadar ibu sudah tua, sudah jelek pantas memang buat kamu gitukan. Apa jadinya kalo nanti kamu udah jadi orang, apa kamu masih mau dengar nasihat orang tuamu yang makin jelek ini?, apa kamu masih mau mengurus ibu abahmu? Atau malah kau lempar kami ke panti jompo gara-gara kamu muar menuruti permintaan ini itu, minta masakan ini itu. Ibu sakit hati nak, ibu kecewa. Kalo kamu ngga mau pake yang macam-macam yaudah diam ngga usah berjelek muka dibelakang ibu”
Aku tersentak mendengar kata-kata ibu, mulut ini yang biasnya membantah terdiam terkunci tak berucap sepatah katapun, tapi kenapa untuk berucap ma’af dan menangis di depan ibuku sangat susah sekali, gengsi, itulah yang menggandrungi egoku yang terlalu tinggi. Aku hanya menangis, dan meminta ma’af dalam hati. Ada apa denganku?, apakah kebanggan ini, dan  kesombogan telah merajai diriku. Ya allah… ampun.
Aku memang hanya akhir pekan pulang kampung, aku kuliah di akademi kebidanan yang ada di kotaku. Setiap kali pulang ibu dan abah selelu memberikan yang terbaik, yang tidak mereka berikan ketika akau ada di kota. Apa yang aku pinta jika mereka mampu selalu mereka turuti.
Aku berlari menuju kamarku, aku kunci rapat-rapat pintunya. Aku renungakan kata-kata ibu tadi, masih terngiang jelas ketika ibu berkata “ibu ingin anak ibu senang, kamu di rumah Cuma seminggu sekali, dan kalo kamu ngga pulang ayam yang kamu masak ini ngga akan pernah ada di rumah ini”. Aku bisa mengambil makna dari kata-kata itu, ibu dan abah rela tidak makan enak, tidak makan yang mahal-mahal ketika aku ngga ada, mereka ingin adil denganku. Dan mereka rela menghemat materi untuk biaya kuliahku yang ku sadar itu tidak sedikit, apalagi a ku kuliah di fakultas yang berbasic kesehatan.
“Apa jadinya kalo nanti kamu udah jadi orang, apa kamu masih mau dengar nasihat orang tuamu yang makin jelek ini?,”. aku kembali merenung. Ketika aku sukses nanti, masihkah aku mengurus kedua orang tuaku, padahal aku disibukkan dengan urusan keluarga, pekerjaan dan segala macam hal lainnya?. Masihkah aku mendengarkan nasihat mereka sedangkan bisa saja aku merasa lebih pintar dari mereka karena aku telah mendapatkan gelar DIII mungkin, SI mungkin, atau SII.
Nafsu makanku benar-benar hilang, ibu menyuruhku untuk makan siang bersama. Ahirnya aku pun makan siang tanpa semangat yang mendukung. Tak ku lihat lagi wajah ibuku yang basah karena air mata, tak ku dapati lagi mata sembab menagis karenaku.
Setelah makan selesai aku kembali ke kamarku. Kembali ku renungkan kata-kata itu, aku bisa mengambil sebuah makna. Orang tuaku ngga ingin aku menjadi orang yang sombong, nasihat sekecil apapun harus di dengarkan dengan baik, dipakai atau tidak harus dihargai.
Aku sedih, aku menyesal, aku menangis, hingga aku tertidur. Waktu ku tidur, entah itu mimpi atau apa, aku merasa ibu masuk ke dalam kamar dan berkata “ya ampun, kasiannya anakku tidur keringatan”. Perkataan itulah yang ku dengar sekilas. Dalam keadaan pasca konflik seperti ibut ibu masih memberikan perhatian padaku.
Tak berapa lama akau terbangun, aku ke dapur untuk menagmbil air minum. Tak sengaja aku berpapasan dengan ibu. Sekilas saja aku menatap matanyantak berani lama-lama karena aku masih takut dengan amarahnya. Ternyata ibu tersenyum padaku, maniiis sekali. Aku balas juga senyumnya. Aku rasakan ada kedamaian yang luar biasa. Ingin aku langsung meminta ma’af dan memeluknya. Tapi………yaaaaa aku suka gengsi soalnya. Tak pandang bulu akau gengsinya sama siapa. Parrraah
Ibu mengajakku bertamu ke rumah tetangga untuk bersilaturrahmi sekalian beli telur bebek unutk diolah menjadi telur asin kesukaanku. Aku ikut dengan senang hati. Ibu bersikap biasa seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa diantara kami. “Alhamdulillah ibu ngga marah lagi”.
Tidak terasa, begitu cepatnya waktu berlalu, tiba saatnya aku kembali ke kota untuk kuliah keesokan harinya, minggu depan baru kembali ke lagi ke rumah. Tapi kenapa kata ma’af ini susah sekali terucap, sungguh sungguh sungguh sulit. Sebelum kembali ke kostku, aku sempat minum kopi buatan ibu, itu kopi ternikmat yang pernah aku minum, hemmmmm lezat.
Aku sedih meniggalkan rumah, selama seminggu tidak ketemu ibu, abah dan adikku Irfan. Dan aku sedih juga kenapa kata ma’af ini belum juga terucap.
Sesampainya dikostan aku sangat lelah, rasanya aku ingin tidur, ingin istirahat menyiapkan diri untuk kuliah besok. Tapi sampai larut malam aku takj jua kunjung tidur. Hatikku berkata mungkin ini karena aku belum meminta ma’af pada ibuku.
Akhirnya aku putuskan untuk meminta ma’af melalui handphone. Untuk menelfon sepertinya ngga mungkin, lewat SMS aja. Aku tarik nafas, aku kumpulkan segala keberanian, aku ambil resiko entah nanti menangis dramatis atau lain sebagainya.
“assalamu’alaikum,,ibu nana mau bilang, nana banyak salah, hasna minta ma’af yang tadi siang. Ma’af ya bu, ma’afin nana. Nana nda bisa tidur nda bisa consent belajar kalo ibu blm ma’afin nana. Ma’afin nana ya bu, nana tadi hilaf, ma’af ya..”. massage sent. Aku tunggu balasannya, lumayan lama mungkin ibu sudah tidur karena aku SMSnya sudah larut malem. Tak berapa lama ada balasan dari ibuku. “iya ngga apa-apa nak, ibu udah ma’afin kamu dari tadi”. Membaca balasan dari ibu aku jadi lega.. aku senang perasaanku menjadi tenang.
 Aku terharu, aku kembali melinangkan air mata. Sungguh luas pintu ma’af seorang ibu, sungguh tulus kasih sayangnya, sungguh beruntung aku memiliki seorang ibu sepertinya, sungguh bangga aku tercipta dari benih abah dan ibuku. Alhamdulillah…
Akupun tertidur,,, dan dalam tidur dan sadarku aku berangan agar kesalahan kemarin tak akan terulang lagi, dan hari esok harus lebih baik dari hari-hari yang telah lalu. Aku sayang ibu…



Pesanku:
“jangan gengsi untuk meminta ma’af, gugurkan segala kesombongan, tanpa orang tua kita bukan siapa2, dan segala kesombongan hanyalah pantas dimiliki allah semata”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.
"TERIMA KASIH ATAS KARUNIA'MU YA ALLAH SWT"

Hasna Javacute Zweety

""CANTIK""
""I LIKE""
""Ups'Ketahuan""